Feeds:
Posts
Comments

Archive for February, 2010

(sumber foto: dokumen Pusat Kegiatan Anak Yayasan KAKAK di Klaten)

IMAJINASI (?)

Imajinasi hampir selalu dikaitkan dengan khayalan, impian, atau hasrat kreatif. Mengapa? Menurut saya karena makna umum dan mudah dari imajinasi adalah demikian. Sangat mudah bagi kita untuk melihat film Avatar sebagai manifestasi imajinasi James Cameron atau tanah Narnia sebagai imajinasi CS. Lewis pengarang Chronicle of Narnia. Pada konteks ini imajinasi dikaitkan pula dengan dunia-dunia khayali di luar jangkauan rasionalitas manusia namun mampu terbayangkan oleh manusia.

Saya memilih foto anak-anak untuk mengawali tulisan ini karena anak-anak juga sering diidentikkan dengan imajinasi. Anak-anak dengan pikirannya yang bebas dan murni mampu membayangkan banyak hal di luar dunia; mulai cita-citanya, masa depannya, sampai dunia-dunia lain dimana sendok garpu dan mainan mereka bisa bicara. Betapa indahnya imajinasi anak-anak. Suatu hal yang bisa membawa kita jauh ke wilayah-wilayah yang serba mungkin dan optimistis.

Selain anak-anak dan dunia khayali, profesi tertentu juga dianggap dekat dan bahkan bergumul dengan imajinasi. Profesi-profesi ini biasanya berkaitan dengan kreatifitas misalnya penulis, desainer, musisi, fotografer, dan banyak profesi lain yang berkaitan dengan dunia kreatif. Toni Morrison menegaskan bahwa untuk menjadi penulis yang baik, kita sebaiknya tidak hanya menuliskan hal-hal yang kita ketahui tapi juga hal-hal yang tidak kita ketahui karena dengan demikian kita akan semakin kaya. Melanjutkan pernyataan ini saya jadi bertanya, apakah benar imajinasi hanya milik profesi-profesi kreatif dan anak-anak saja? Bagaimana dengan profesi-profesi lain seperti dokter, apoteker, advokat, guru, dosen, atau penerjemah seperti saya? Adakah atau pentingkah imajinasi dalam profesi-profesi tersebut?

Beberapa hari lalu saya sedang mengerjakan editing dan terjemahan untuk sebuah buku penyerta pameran lukisan. Tulisan yang saya terjemahkan sangat menarik, namun karena berbagai keterbatasan saya sering menemui jalan buntu. Pada saat-saat seperti itu saya merasa “imajinasi saya tidak jalan” sehingga saya tidak bisa bekerja lincah seperti biasanya. Lalu saya berpikir, “Lho kok imajinasi? Saya tidak butuh imajinasi. Karya terjemahan saya bisa rusak jika banyak dibumbui ‘khayalan’ saya terhadap makna tulisan yang sedang saya hadapi.” Tapi keheranan itu segara saya bantah dengan keyakinan bahwa saya memang butuh imajinasi. Hal ini mendorong saya menulis tentang imajinasi agar bisa sedikit mengurai makna dan urgensi imajinasi dalam hidup dan profesi.

Kata imajinasi kemudian membawa saya kepada sidang pledoi Antasari Azhar. Pada sidang tersebut, Antasari menyebutkan bahwa beberapa tuduhan kepadanya hanya berdasar imajinasi jaksa penuntut saja (maaf jika kutipan ini kurang akurat tapi seingat saya kira-kira demikian yang disampaikan Antasari). Pada konteks ini imajinasi menjadi sesuatu yang tidak lagi dibutuhkan (paling tidak menurut Antasari). Imajinasi bahkan dipersalahkan, dianggap sebagai sumber khayalan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan fakta-fakta.

Sambil berusaha untuk tidak masuk ke kontroversi Antasari—karena saya juga tidak terlalu paham mengenai kasus ini—saya jadi berpikir, apakah fakta di pengadilan itu bukan hasil imajinasi saksi-saksi, advokat, penuntut, hakim, dan terdakwa? Saya memang tidak tahu hukum, tapi saya yakin betul bahwa peristiwa yang sudah berlalu tidak bisa sepenuhnya dihadirkan kembali secara persis. Bukti-bukti yang ada hanya tersimpan di ingatan orang-orang yang terlibat serta bukti-bukti fisik yang hanya mampu memberikan sebagian sudut pandang atas peristiwa. Lalu, menurut saya cerita utuh dalam persidangan adalah hasil “imajinasi” dari potongan-potongan bukti, sudut pandang, dan ingatan.

Maka menurut saya imajinasi ada dan mewarnai setiap profesi. Profesi se-rigid apapun memanfaatkan imajinasi dan mengambil ilham darinya. Ibu rumah tangga tanpa imajinasi hanya akan menjalani hidupnya yang rutin dengan pekerjaan-pekerjaan yang tak kunjung selesai. Imajinasi akan memberikan ibu tersebut irama dalam bekerja. Penegak hukum membutuhkan imajinasi dalam kejernihan pikirnya agar kebenaran dapat diberikan dalam kebijaksanaan merangkai bukti dan ingatan. Dokter membutuhkan imajinasi untuk menciptakan dunia yang sehat dan adil dengan inovasi-inovasinya. Penerjemah tentu berhutang pada imajinasi atas kelincahannya merangkai dan menyematkan kata yang tepat untuk mengkomunikasikan makna. Pada akhirnya, kesimpulan sementara saya adalah bahwa imajinasi bukan sekedar khayalan, kreativitas, atau impian. Imajinasi bukan pula delusi tanpa dasar yang patut dipersalahkan atau dibenarkan. Imajinasi adalah daya hidup dan energi yang membebaskan. Imajinasi adalah visi yang ada pada tiap orang.***

Read Full Post »