Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Back in Business

Bersyukur banget, karena mau posting comment setelah baca #Degalings I got my blog back ! Yaayyyy ! So, I’ll be back 🙂

Read Full Post »

(sumber foto: dokumen Pusat Kegiatan Anak Yayasan KAKAK di Klaten)

IMAJINASI (?)

Imajinasi hampir selalu dikaitkan dengan khayalan, impian, atau hasrat kreatif. Mengapa? Menurut saya karena makna umum dan mudah dari imajinasi adalah demikian. Sangat mudah bagi kita untuk melihat film Avatar sebagai manifestasi imajinasi James Cameron atau tanah Narnia sebagai imajinasi CS. Lewis pengarang Chronicle of Narnia. Pada konteks ini imajinasi dikaitkan pula dengan dunia-dunia khayali di luar jangkauan rasionalitas manusia namun mampu terbayangkan oleh manusia.

Saya memilih foto anak-anak untuk mengawali tulisan ini karena anak-anak juga sering diidentikkan dengan imajinasi. Anak-anak dengan pikirannya yang bebas dan murni mampu membayangkan banyak hal di luar dunia; mulai cita-citanya, masa depannya, sampai dunia-dunia lain dimana sendok garpu dan mainan mereka bisa bicara. Betapa indahnya imajinasi anak-anak. Suatu hal yang bisa membawa kita jauh ke wilayah-wilayah yang serba mungkin dan optimistis.

Selain anak-anak dan dunia khayali, profesi tertentu juga dianggap dekat dan bahkan bergumul dengan imajinasi. Profesi-profesi ini biasanya berkaitan dengan kreatifitas misalnya penulis, desainer, musisi, fotografer, dan banyak profesi lain yang berkaitan dengan dunia kreatif. Toni Morrison menegaskan bahwa untuk menjadi penulis yang baik, kita sebaiknya tidak hanya menuliskan hal-hal yang kita ketahui tapi juga hal-hal yang tidak kita ketahui karena dengan demikian kita akan semakin kaya. Melanjutkan pernyataan ini saya jadi bertanya, apakah benar imajinasi hanya milik profesi-profesi kreatif dan anak-anak saja? Bagaimana dengan profesi-profesi lain seperti dokter, apoteker, advokat, guru, dosen, atau penerjemah seperti saya? Adakah atau pentingkah imajinasi dalam profesi-profesi tersebut?

Beberapa hari lalu saya sedang mengerjakan editing dan terjemahan untuk sebuah buku penyerta pameran lukisan. Tulisan yang saya terjemahkan sangat menarik, namun karena berbagai keterbatasan saya sering menemui jalan buntu. Pada saat-saat seperti itu saya merasa “imajinasi saya tidak jalan” sehingga saya tidak bisa bekerja lincah seperti biasanya. Lalu saya berpikir, “Lho kok imajinasi? Saya tidak butuh imajinasi. Karya terjemahan saya bisa rusak jika banyak dibumbui ‘khayalan’ saya terhadap makna tulisan yang sedang saya hadapi.” Tapi keheranan itu segara saya bantah dengan keyakinan bahwa saya memang butuh imajinasi. Hal ini mendorong saya menulis tentang imajinasi agar bisa sedikit mengurai makna dan urgensi imajinasi dalam hidup dan profesi.

Kata imajinasi kemudian membawa saya kepada sidang pledoi Antasari Azhar. Pada sidang tersebut, Antasari menyebutkan bahwa beberapa tuduhan kepadanya hanya berdasar imajinasi jaksa penuntut saja (maaf jika kutipan ini kurang akurat tapi seingat saya kira-kira demikian yang disampaikan Antasari). Pada konteks ini imajinasi menjadi sesuatu yang tidak lagi dibutuhkan (paling tidak menurut Antasari). Imajinasi bahkan dipersalahkan, dianggap sebagai sumber khayalan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan fakta-fakta.

Sambil berusaha untuk tidak masuk ke kontroversi Antasari—karena saya juga tidak terlalu paham mengenai kasus ini—saya jadi berpikir, apakah fakta di pengadilan itu bukan hasil imajinasi saksi-saksi, advokat, penuntut, hakim, dan terdakwa? Saya memang tidak tahu hukum, tapi saya yakin betul bahwa peristiwa yang sudah berlalu tidak bisa sepenuhnya dihadirkan kembali secara persis. Bukti-bukti yang ada hanya tersimpan di ingatan orang-orang yang terlibat serta bukti-bukti fisik yang hanya mampu memberikan sebagian sudut pandang atas peristiwa. Lalu, menurut saya cerita utuh dalam persidangan adalah hasil “imajinasi” dari potongan-potongan bukti, sudut pandang, dan ingatan.

Maka menurut saya imajinasi ada dan mewarnai setiap profesi. Profesi se-rigid apapun memanfaatkan imajinasi dan mengambil ilham darinya. Ibu rumah tangga tanpa imajinasi hanya akan menjalani hidupnya yang rutin dengan pekerjaan-pekerjaan yang tak kunjung selesai. Imajinasi akan memberikan ibu tersebut irama dalam bekerja. Penegak hukum membutuhkan imajinasi dalam kejernihan pikirnya agar kebenaran dapat diberikan dalam kebijaksanaan merangkai bukti dan ingatan. Dokter membutuhkan imajinasi untuk menciptakan dunia yang sehat dan adil dengan inovasi-inovasinya. Penerjemah tentu berhutang pada imajinasi atas kelincahannya merangkai dan menyematkan kata yang tepat untuk mengkomunikasikan makna. Pada akhirnya, kesimpulan sementara saya adalah bahwa imajinasi bukan sekedar khayalan, kreativitas, atau impian. Imajinasi bukan pula delusi tanpa dasar yang patut dipersalahkan atau dibenarkan. Imajinasi adalah daya hidup dan energi yang membebaskan. Imajinasi adalah visi yang ada pada tiap orang.***

Read Full Post »

Beberapa bulan yang lalu saya pergi ke suatu desa di Kabupaten Grobogan untuk kebutuhan pekerjaan dan tidak mengharapkan apa-apa selain bekerja. Saya ternyata sangat beruntung karena mendapatkan jauh lebih banyak dari sekedar bekerja. Saya mendapatkan inspirasi, dan inspirasi itu mahal lho..

Desa itu namanya Desa Gunung Tumpeng. Seperti kebanyakan desa di Jawa, desa itu asri, adem, dan hangat sekaligus. Kita sungguh bisa merasakan kehangatan masyarakatnya. Salah satu teman—well, friend and boss—memperhatikan satu hal yang jelas tidak mungkin kita temui di Solo. Sepeda motor bagus ’teronggok’ begitu saja di tepi jalan tak terkunci. Pemiliknya mungkin tidak jauh dari situ, tapi yang jelas atmosfer kekhawatiran bahwa motor tersebut akan dicuri orang. Di Solo dan tentu di banyak daerah lain, pemandangan ini tidak akan kita jumpai. Jika kita punya motor dan membawanya ke tempat umum, maka kita pasti menguncinya dan sebentar-sebentar mengawasinya.

Okey, wait a minute people..bagi anda yang sudah memiliki ide nakal di pikiran anda..tunggu sebentar. Desa ini tentu bukan Motorcycle heaven dimana sebentar motor tergeletak dimana-mana tanpa ada pemilik dan ’menanti pemilik baru’. Desa ini hanya desa kecil dimana penduduknya sadar untuk tidak mengambil hak orang lain. Selain motor yang terdampar di jalan, rumah-rumah juga terbuka lebar tanpa ada yang repot-repot berpikir untuk menguncinya atau membangun gerbang di depannya. Mengapa demikian? Menurut saya salah satu penjelasannya adalah masyarakat desa tersebut adalah masyarakat yang berkeadilan. (more…)

Read Full Post »

BAHAGIA SEKARANG JUGA !

Saya percaya kalau setiap manusia terlahir ke dunia ini untuk alasan tertentu atau paling tidak mereka lahir untuk mengerjakan suatu hal tertentu. Tidak banyak orang yang dapat merasakan nikmatnya melakukan sesuatu yang ‘she was born to do’ dan saya tidak mau menjadi orang itu. Saya selalu mencari what I was born to do dengan mencoba berbagai pekerjaan yang mungkin saya dapatkan dan yang sekiranya menarik untuk saya. Saya percaya bahwa ketika saya sudah menemukannya saya akan memiliki energi tak terbatas tanpa banyak memikirkan kompensasi finansial dan dengan begitu saya akan bahagia

Selepas kuliah saya bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan anak. Awalnya saya merasa sangat bergairah. Betapa tidak, bekerja untuk anak-anak terasa sangat mulia dan saya yakin saya tidak hanya bekerja tetapi melakukan sebuah pengabdian. Gairah ini ternyata tidak bertahan lama. Setelah kurang lebih satu setengah tahun bekerja saya mulai merasakan kejenuhan tidak tertahankan. Saya merasa sesungguhnya saya tidak banyak melakukan pengabdian karena saya juga menggantungkan nafkah hidup dari pekerjaan ini. Saya berpikir jika saya dapat mencari sumber penghasilan lain maka saya dapat melanjutkan kegiatan-kegiatan sosial saya dengan sepenuh hati karena persoalan finansial sudah terselesaikan.

Saya kemudian mencoba berbagai pekerjaan mulai dari menjadi penerjemah, interpreter, menulis cerita anak-anak, sampai menjadi “motivational speaker” di berbagai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat. Sebagian dari kegiatan ini membawa manfaat finansial dan sebagian membawa kepuasan batin, namun tidak ada satupun diantaranya yang dapat membuat saya berkata ‘This is it! This is what I was born to do’ sampai saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi dosen Bahasa Inggris di almamater saya.   

Profesi dosen bagi sebagian orang memang bukan pekerjaan impian karena tidak banyak mendatangkan manfaat finansial tapi saya sangat menikmatinya. Saya dapat bertemu dengan banyak anak muda yang masih memiliki semangat dan energi tak terbatas. Setiap hari saya merasa terinspirasi dengan kisah-kisah dan cita-cita mereka. Energi mereka mempengaruhi saya untuk menjadi makin positif tiap harinya. Di tengah kebahagiaan dan gairah yang menyala, terselip keraguan akankah saya bertahan? Saya khawatir kejenuhan akan membuat saya berpikir untuk berganti pekerjaan lagi dan membuang banyak waktu saya untuk mempelajari berbagai hal baru yang akhirnya tidak saya tekuni.

Keraguan saya terjawab baru-baru ini pada sebuah obrolan ringan di tempat parkir di kampus dengan salah satu mahasiswa saya (his nick name is chappy–thanks chappy). Mahasiswa saya menggambar sebuah titik di kertas dan bertanya pada saya, “Miss, apa yang anda lihat?” Saya menjawab, “Saya melihat sebuah titik.” Mahasiswa saya melanjutkan, “Sebenarnya yang anda lihat bukan hanya sebuah titik, Miss. Anda juga melihat kertas, melihat logo merek kertas, melihat pensil, melihat tangan saya juga. Hidup tidak perlu hanya menjadi sebuah titik yang menjadi tujuan dan sasaran kita, Miss. Banyak hal lain yang bisa kita lihat secara bersamaan.”

Pembicaraan itu benar-benar menyadarkan saya, bahwa sementara saya mencari sebenarnya saya telah melakukan banyak hal yang tidak perlu saya hentikan hanya karena saya merasa belum menemukan what I was born to do. Bisa jadi saya terlahir untuk melakukan banyak hal dengan potensi yang saya miliki bukan hanya satu hal yang spesifik. Sebenarnya saya tidak perlu lagi mengkhawatirkan untuk apa saya terlahir tetapi bagaimana saya memanfaatkan anugerah terlahir di dunia ini. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan saja. Melakukan apa saja yang mampu saya lakukan dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengangankan kebahagiaan, inspirasi, dan kesempatan mengabdi yang akan dimiliki jika saya mendapat pekerjaan tertentu karena saya bisa bahagia sekarang juga, bisa mendapat banyak inspirasi sekarang juga, dan bisa mengabdi serta berbuat untuk orang lain sekarang juga. ***

Sakdiyah Ma’ruf
Solo, 6 Januari 2009

Read Full Post »

“Putting Passion into Action” adalah salah satu kutipan kata-katanya Jesse (Ethan Hawke) di film Before Sunrise. Suatu saat aku pernah cerita pada temanku, tentang kliping dan karya tulisku waktu SMA. Karya tulis waktu SMA ku dulu sebenarnya ada 2. Kelas 2 SMA aku menulis kritik tentang hari Kartini yang sekarang ini aku juga agak tidak ingat. Kelas tiga SMA aku menulis tentang penyakit flu. He..he.. klo diingat menarik juga prosesnya, ada kegiatan mencari buku referensi, dari jurnal IDI sampai ensiklopedia. Terus kegiatan wawancara sama dokter Ervina.

Jika diingat sekarang rasanya sungguh menyenangkan..sampai lupa betapa aktivitas sederhana namun menghasilkan bisa menjadi sangat menyenangkan. Sekarang jika ingat itu lagi rasanya jadi semangat. Semangat melakukan banyak hal sederhana yang menjadi hasrat. Tidak perlu terlalu wah, yang penting dekat dengan kehidupan sehari-hari dan dekat dengan apa yang menjadi passion, keinginan, cita-cita hidupku.

Selain karya tulis, proyek kelas 3 SMUku adalah kliping. Senada dengan karya tulis, kliping yang kubuat adalah tentang otak. Struktur otak manusia, keistimewaannya, penyakit-penyakit seputar otak manusia, dan lain-lain. Dari kliping ini, aku pertama kali berkenalan dengan penyakit degeneratif yang namanya Alzheimer. Ini adalah penyakit baru yang lebih ganas dari pikun. Saat ini banyak orang membicarakan Alzheimer dan aku sudah tahu sejak 10 tahun yang lalu. Keren kan? Kliping ini juga membuatku belajar banyak tentang cara-cara mengatasi kepikunan. Hebat kan? Tugas sekolah yang sederhana bisa membuatku mempelajari banyak hal. Hal yang kecil dan sederhana jika dihargai dan dimaknai nyatanya bisa juga menjadi suatu yang penting. Super sekali (kalau kata Mario Teguh..hehe)

Sama dengan karya tulis tentang flu, saat ini aku juga sudah tidak ingat isi artikel-artikelnya. Tapi aku masih ingat semangatku saat itu, energi yang murni. Energi untuk belajar. Menyusun kliping satu demi satu, membacanya, mencari referensi, dan menulis komentar tiap artikel.
Senang rasanya bisa mejadi sungguh-sungguh !
Iya, aku sendiri memang banyak mendapat inspirasi dan ide-ide menarik. Tetapi nyatanya ga pernah kukerjakan. Ide bagus, klo tidak dipedulikan, akhirnya memang menjadi kutukan (Paulo Cuelho, The Alchemist)

Memiliki ide dan gagasan sebenarnya seperti memiliki hutang. Hutang pada diri sendiri dan hutang pada orang banyak, karena siapa tahu ide tersebut bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Jadi, saya akan mulai bayar hutang..

Read Full Post »

Public Lecture by :

Dr. Margot Badran (Georgetown University-Washington DC)

Theme: Gender and Islam
Location: Ponpes Al Muayyad-Windan and English Department Faculty of Letters, Surakarta
Day, Date: Monday, June 16, 2008

Before I start, I have to admit that I know nothing about Dr. Badran and her thoughts until I hear her lecture. Therefore, my note on her thoughts will be very limited and it will be dominated with my own interpretation on Gender and Islam and my interpretation on her answer towards my question. Here is the note… (more…)

Read Full Post »

Apakah saat ini kita termasuk orang yang keren? Atau sebelum menjawab pertanyaan itu, sebenarnya seberapa penting sih menjadi keren bagi kita? Bagaimana kita bisa menjadi keren atau tidak keren? Apa saja ukurannya? Siapa yang menentukan?

Berdasarkan pengalaman pribadi saja, sepertinya menjadi keren mungkin memang penting bagi saya. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini tidak terjadi satu-dua kali saja tetapi berulang kali dan bahkan pada saat-saat interaksi saya dengan diri sendiri.

Saya sangat suka film. Sejak SD atau bahkan sebelum itu, sudah terbiasa menonton film. Sampai saat ini, saya masih sangat suka menonton film, bahkan bisa dibilang tiada hari tanpa menonton film. Film-film yang saya tonton berubah dari waktu ke waktu. Bisa dibilang, makin dewasa film-film yang saya tonton makin ‘serius’ dari segi tema, penceritaan, sinematografi, dan lain-lain. Saya menjadi tidak suka lagi film-film yang saya anggap ‘ringan.’ Pada banyak kesempatan, ketika teman atau saudara saya mempromosikan satu film yang menurut dia bagus, saya menanggapinya dengan datar saja. Saya ini kan penyuka film-film kelas festival film dunia, ‘masa film remaja gitu dibilang bagus!’ Kadang saya berkata demikian dalam hati.

Hal yang sama terjadi pada interaksi saya dengan diri saya sendiri ketika saya mengunjungi tempat-tempat persewaan film. Kadang saya sangat ini menyewa film yang ‘ringan’ saja supaya terhibur, tapi akhirnya I ended up menyewa film-film ‘serius’ tadi. “Who am I kidding?” begitu kata saya pada diri saya sendiri, kadang dengan nada bangga, kadang dengan nada kecewa.
Akhirnya konsumsi memang masalah selera. Dan soal selera ini, saya punya pengalaman menarik yang lain. Saya meyakini bahwa selera itu dibentuk dan memang benar bahwa selera itu dibentuk. Masalahnya dibentuk oleh siapa? Masih berkaitan dengan film, saya meyakini bahwa selera saya akan film dibentuk dari kebiasaan saya menonton film sejak kecil, ketertarikan pada buku-buku, dan kesukaan berdiskusi. Dengan latar belakang seperti itulah saya saat ini menyukai film-film ‘serius’ yaitu film-film kelas festival dunia.

Keyakinan seperti ini yang membuat saya kadang memandang orang lain yang suka menonton film-film ‘ringan’ sebagai “tidak punya selera” dan oleh karenanya berada pada komunitas yang berbeda dengan saya dalam konotasi yang mengandung sikap menganggap baik atau menganggap buruk orang lain?

Maka tiba-tiba ‘punya selera’ menjadi terminology untuk menyebut komunitas yang ‘elite.’ Dan dengan menjadi bagian dari komunitas yang ‘elite’ saya menjadi “keren.” Lalu siapa yang menentukan itu elite atau tidak elite? Keren atau tidak keren? Siapa yang memberi ukuran? Berhakkah saya kemudian ikut-ikutan menilai orang lain?

Masih berkaitan dengan film, festival dan penghargaan film adalah salah satu penentu keren atau tidak kerennya, bagus atau tidak bagusnya sebuah film. Sebagai suatu hal yang diterima secara internasional, kita setuju saja bahwa film pemenang Oscar atau pemenang Festival De Cannes adalah film yang baik. Terlepas dari bahwa diantara sekian penghargaan film tersebut mereka punya ukuran ke-‘keren’-an sendiri-sendiri, paling tidak penghargaan-penghargaan film tersebut telah berhasil menciptakan standarisasi tertentu yang dapat diterima. Lagi pertanyaannya, siapa yang membuat mereka, para juri dan penyelenggara festival, punya otoritas untuk menjadi standarisasi? Tidakkah standarisasi itu bisa didebat? Lalu jika standarisasinya saja masih diperdebatkan, bagaimana dengan penikmat film yang most of the time hanya mengkonsumsi dan menggantungkan status ke-‘keren’-an diri pada standarisasi keren dan tidak keren yang ‘dapat diterima’ itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Indonesia memiliki contoh yang menarik. Festival Film Indonesia (FFI) yang diakui menjadi standarisasi bagus tidaknya sebuah film. Sebagai sebuah standar, tentu saja penonton film pemenang FFI berada pada kelompok yang ‘somehow’ lebih keren, daripada mereka yang menonton film-film yang diputar pada acara Bioskop Dewasa di salah satu stasiun TV itu. Namun, FFI 2006 membuktikan bahawa standarisasi bisa saja salah. Aksi penolakan sejumlah sineas terhadap hasil FFI 2006 mengawali babak baru perdebatan di kalangan masyarakat pembuat film dan masyarakat penikmat film di Indonesia.
Di tengah perdebatan ini, saya memihak siapa? Sebagai sekadar konsumen, saya memilih untuk memihak Riri Reza dan kawan-kawan yang menolak hasil FFI. Mengapa? Simply because saya lebih suka karya-karya mereka daripada karya yang menang FFI. “I mean, Ekskul jadi juara? Yang bener aja! mereka itu kan penjiplak, ceritanya tidak mengakar, mengada-ada, tidak memiliki kedalaman nilai-nilai humanity sama sekali” begitu saya berargumentasi. Lho, again pertanyaan yang sama muncul, siapa sih yang berhak menentukan sesuatu itu punya nilai atau tidak punya nilai? Pada kondisi dimana sebuah standar sudah tidak lagi punya kekuatan atau sudah ‘tidak dapat diterima’ kita menjadi otonom. Otonom untuk menerima atau menolak, otonom untuk memilih. Memilih diantara sebaran luas makna-makna dan simbol-simbol yang siap dikonsumsi.
Pada pengalaman saya ternyata ketika saya pada posisi otonom, nyatanya saya tidak sepenuhnya otonom. Pilihan saya tetap dipengaruhi oleh standar-standar diatas standar festival, misalnya standar kedalaman nilai kemanusiaan yang terekam dalam tema-tema film dan lain sebagainya. Standar kedalaman nilai kemanusiaan itu kemudian ditentukan oleh wacana intelektual yang sedang dominan dan bisa diterima. Sebenarnya masih banyak yang bisa lebih jauh diperdebatkan, misalnya di luar dominasi wacana yang membentuk standar-standar ke-‘keren’-an, adakah standar kebagusan yang bisa diterima universal? Atau sebenarnya karya yang seperti apa yang benar-benar bisa dibilang baik? Namun perdebatan ini belum akan kita kupas saat ini.

Akhirnya kita melihat bahwa memilih film, keberpihakan terhadap sikap kelompok film tertentu adalah bagian dari tindakan konsumsi kita. Dan pada konsumsi kita membentuk identitas dan menceburkan diri pada tatanan masyarakat tertentu. Dengan mengkonsumsi kita menentukan tempat kita di dunia. Pada kasus film yang kita bahas ini, maka menonton film tertentu memberi kita tempat pada suatu masyarakat dan sekaligus memberi kita ruang untuk membentuk masyarakat tersebut. Masyarakat yang ‘keren’ dengan segala kriterianya menurut kita sendiri. Masyarakat ‘utopis’ yang kita bentuk melalui konsumsi film kita. Mengapa menceburkan diri dalam suatu masyarakat atau membentuk masyarakat itu?

Jawabannya adalah karena sebenarnya kita hanya ingin punya tempat. Maka menjawab pertanyaan di atas tentang seberapa penting untuk menjadi keren? Jawabannya adalah tidak penting. Yang penting adalah punya tempat. Perkara tempat itu memberi implikasi citra keren atau tidak keren nyatanya tidak terlalu penting karena itu hanyalah persoalan siapa yang berkuasa dan mendominasi wacana dan trend saat ini saja, sedangkan kebanyakan kita toh hanya mengkonsumsi, hanya bermain-main dengan, atau bahkan dimainkan oleh kelompok yang sedang dominan. *** Sakdiyah Ma’ruf (Jum’at, 28 Februari 2008)

Perdebatan selanjutnya:
Ketika mengkonsumsi kita otonom atau malah terjajah?
Sejauh mana proses negosiasi terjadi antara keinginan, hasrat, dan serbuan pilihan-pilihan item konsumsi baru?
Lalu bagaimana mengkontekstualisasikan ide-ide ini ke kondisi sosial yang lebih luas?

Read Full Post »

Sampai saat ini dunia sedang membicarakan krisis ekonomi atau tepatnya krisis keuangan global yang sepertinya dimulai dari Amerika. Makin hari beritanya makin gencar. Minggu malam tanggal 12 Oktober kemarin, saya mendengarkan berita di radio BBC dan hampir seluruh berita berisi krisis keuangan global. Tentu saja dengan selingan berita terorisme dan nuklir yang bahkan sudah menjadi tren sejak beberapa tahun lalu mendahului krisis ekonomi. Saya sekilas berpikir, apa ada hubungan antara nuklir, terorisme, dan krisis keuangan? Namun, saya lekas mengesampingkan pikiran itu karena krisis ekonominya sendiri saja saya belum paham benar. Berita-berita di berbagai media membuat saya makin bingung. Berita-berita tersebut banyak menyebut tentang indeks, saham, likuiditas, suspensi, turun, naik, anjlok, dan entah apa lagi istilah keuangan yang tidak lazim di telinga orang awam seperti saya. Apalagi latar belakang pendidikan saya sastra. Duh, makin ga ngerti deh.

Ketidaktahuan tidak membuat saya berhenti. Beberapa hari belakangan saya mencoba menyimak beberapa berita. Bertanya pada beberapa orang yang mungkin tahu. Mencari-cari berita dan memikirkannya dengan agak serius. Kenapa begitu? Karena saya sendiri punya kekhawatiran seandainya krisis ini semakin menjadi lalu mempengaruhi Indonesia, dan akhirnya mempengaruhi keluarga dan saya sendiri, apa jadinya kalau saya tidak tahu apa-apa dan menjadi korban saja? Sebelum semuanya itu terjadi saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Berikut pemahaman dan interpretasi saya atas berita-berita yang saya ikuti. (more…)

Read Full Post »

TIME

Salah satu dialog film ‘before sunrise’ yang saya ingat adalah ketika ethan dan celine memasuki bar. ethan hawke bilang kira2 begini ‘ aku ga ngerti deh dengan orang sekarang, mereka tergila-gila teknologi yang katanya bisa menghemat waktu, tapi ternyata waktu yang dihemat digunakan untuk bekerja lagi’ berarti ga menghemat dong?

Sama halnya dengan uang, orang bekerja mendapatkan uang, kadang uang itu cukup banyak, trus uang yang banyak itu dipake lagi untuk mendukung pekerjaan, misalnya dengan membeli laptop ato menyewa pembantu untuk mengurus anak di rumah sementara ortu bekerja
berarti sama aja selalu bekerja dong/ bekerja..dapat uang..uang dipake untuk bekerja..

klo mo ngomong naif berarti tiap hari kita sudah di eksploitasi, di buat mengejar sesuatu yang bukan untuk diri sendiri,
tapi nyatanya ga gitu2 banget lho.. rajin bekerja (baca;dengan rela di eksploitasi) equal to workaholic yang sekarang lagi trend, rajin bekerja memberi nilai diri yang lebih, memiliki barang2 teknologi seperti laptop dsb membuat kita menjadi bagian dari masyarakat dunia yang mobile dan sophisticated..

gosh..bukannya itu semua cuma citra?
tapi apa boleh buat? citra adalah diri, citra adalah identitas, which means orang membentuk dirinya dengan citra..

pertanyaannya? adakah cara lain?
jawabannya ada sih.. yaitu dengan cara menjadi orang yang genuine, orisinal..
tapi rasanya orisinalitas sudah musnah
karena hanya ada proses reproduksi bukan produksi

ato sebenarnya pertanyaan tadi tidk perlu di jawab karena rasanya kita sudah terlalu nyaman hidup sperti ini, so tidak ada yang perlu dikhawatirkan..
yang diperlukan hanya sedikit ruang untuk terus berdialog,… semoga tidak terdengar pesimis…

Sakdiyah, a long-long time ago (mungkin tahun 2006)

Read Full Post »

::29 Nov 2007

Apakah makna payudara bagi sebagian besar perempuan? Pernahkah perempuan dengan sadar mendefinisikan payudaranya? Pemaknaan tubuh atau bagian-bagiannya, termasuk payudara sebenarnya sangat bergantung dengan relasi kuasa pada zamannya.

Pada zaman Victorian, perempuan-perempuan di Eropa memakai korset yang teramat ketat sebagai bagian dari pemaknaan tubuh ideal perempuan pada masa itu. Relasi kuasa pada masa Victorian adalah struktural dan feodal, artinya masyarakat menyadari akan adanya struktur kelas sosial dan jabatan yang membagi masyarakat paling tidak menjadi dua, kelas dominan (yang menentukan arah kebijakan dan mainstream kebudayaan) dan kelas inferior (yang di posisikan untuk mengikuti saja). Dalam relasi seperti ini, kelas inferior ‘sadar’ bahwa mereka memang di bawah dan harus mengikuti yang di atas. Dalam relasi kuasa tersebut, pembebasan dapat dilakukan melalui penyadaran atau bahkan pemberontakan (revolusi) berbasis kelas, misalnya dengan menggerakkan kelas-kelas tertindas (misal, perempuan atau buruh) untuk melawan.

Relasi kuasa pada masa sekarang tidak sesederhana relasi kuasa di atas. Relasi ini dapat dengan tepat didefinisikan oleh ilmuwan Italia Antonio Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni adalah relasi kuasa yang berdasar pada ‘the consent of the oppressed’ atau ‘kerelaan kelompok tertindas’. Kelompok yang tertindas bagaimanapun mengetahui bahwa mereka ini sedang ditindas, namun ada kerelaan menjalani kondisi tertindas tersebut.

Mengapa ada ‘kerelaan’ tersebut? Penyebabnya adalah karena hegemoni ‘menyerang’ pola pikir, cara pandang, dan kesadaran manusia melalui politik citra yang dijalankan oleh kelompok dominan (kalo masa sekarang kelompok dominan adalah pemilik modal yang tentu saja berorientasi pada penumpukan modal terus menerus). Politik citra ini salah satunya dapat dilihat dari bagaimana kelompok dominan membuat perempuan tidak puas dengan tubuhnya.

Kondisi ketidakpuasan perempuan diciptakan melalui—salah satunya—kampanye media tentang standar cantik perempuan. Kampanye tersebut bisa tampil dalam berbagai bentuk, dari mulai iklan pemutih, pelangsing tubuh, pembesar payudara, sampai kontes putri-putrian. Lebih jauh lagi kampanye ini sering tampil dengan nuansa ‘penyadaran’. Kampanye macam ini paling beresiko menyesatkan karena perempuan merasa ter’emansipasi’, padahal sesungguhnya mereka sedang diajak untuk mengikuti tren tertentu sesuai dengan kepentingan kelompok dominan.

Salah satu contoh kampanye yang bernuansa penyadaran ini adalah rangkaian kampanye ‘for real beauty’nya dove. Rangkaian produk dove dengan brilian mengambil momen di mana perempuan mulai gelisah dengan standar cantik ala barat dengan membuat kampanye ‘untuk kecantikan yang sesungguhnya’. Dove ‘mengajak’ perempuan untuk menerima diri apa adanya bahkan bila dia gemuk dan beruban. Kampanye ini sangat brilian karena apabila citra ini berhasil mempengaruhi masyarakat, maka pengguna produk dove akan meluas dan bahkan hampir mencakup semua kalangan perempuan, tua-muda, gemuk-kurus, dan lain-lain. Dove akan untung berlipat ganda dari strategi kampanye ini, dan perempuan akan di‘manipulasi’ untuk merasa bahwa mengkonsumsi dove adalah bagian dari idealisme untuk menghargai diri dan tubuh sendiri. Sungguh sesuatu yang sangat misleading. Demikianlah contoh hegemoni yang dilakukan kelompok pemilik modal melalui politik pencitraan.

Pertanyaan tentang makna payudara di awal tulisan juga tidak lepas dari konteks hegemoni. Payudara dalam ideologi kelompok dominan adalah sex object yang terus menerus akan dieksploitasi sebagai usaha kelompok dominan untuk membentuk citra tubuh perempuan. Payudara dieksploitasi sedemikian rupa melalui produk-produk bra sampai dengan produk pembesar payudara, sehingga bukan hanya laki-laki, bahkan perempuan sendiri pun percaya bahwa payudaranya adalah bagian dari daya tarik seksnya.

Sebagai bagian dari daya tarik seks, melalui payudaranya perempuan sering memposisikan diri sendiri sebagai sex object dengan cara misalnya memakai baju tertentu atau bra tertentu untuk mengekspos payudaranya. Perempuan kemudian sering dibuat tidak puas dengan payudaranya, takut kalau ukurannya kecil, takut kalau bentuknya jadi jelek, tidak kencang, dan lain-lain.

Hegemoni membuat perempuan bukan hanya tidak menyadari bahwa dia diobjektifikasi oleh budaya patriarkhi, tetapi juga ‘dengan senang hati’ mengikuti ideologi dominan (ideologi modal yang patriarkhis) untuk memperlakukan tubuh sendiri sebagai objek seks. Inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘the consent of the oppressed’ atau ‘kerelaan kelompok tertindas’. Bayangkan, betapa banyak keuntungan yang dikeruk oleh pemilik modal hanya dari politik payudara ini saja. Salah satu yang terburuk dari politik payudara adalah bahwa perempuan tidak menyadari lagi fungsi payudara, yang sesungguhnya sebagai sumber kehidupan dan sumber makanan. Politik payudara ‘menghalangi’ perempuan untuk menyusui anaknya dari—paling tidak—dua sisi.

Pertama, sebagai sex object perempuan sering tidak mau bentuk payudaranya menjadi jelek dan tidak menarik lagi. Semuanya semata-mata karena perempuan dikondisikan oleh budaya patriarkhi untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Menyusui kemudian banyak dimitoskan akan mengubah bentuk payudara, membuat payudara jadi turun dan jelek, dan lain-lain. Hal ini membuat ibu, apalagi tanpa dukungan penuh dari ayah, memiliki banyak kecemasan untuk menyusui dan akhirnya terdorong untuk enggan menyusui. Kecemasan semacam ini adalah bagian dari strategi kelompok dominan untuk misalnya meningkatkan penjualan susu formula karena si ibu tidak mau menyusui.

Kedua, karena payudara terlanjur dianggap menjadi sex object, maka mengekspos payudara di depan umum kadang dianggap hampir sama dengan laki-laki yang mengekspos penisnya misalnya. Membuka payudara di depan umum adalah ‘saru’, tidak layak, tidak pantas karena akan menimbulkan nafsu, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan perempuan enggan menyusui di tempat umum yang terbuka, padahal fasilitas privat di tempat umum tidak disediakan. Cita-cita untuk menyusui eksklusif anaknya tidak kesampaian karena si ibu harus banyak beraktifitas di tempat umum. Akhirnya pemilik modal lagi yang diuntungkan.

Walaupun hegemoni terjadi dengan ‘kerelaan kelompok tertindas’, namun bukannya sama sekali tidak bisa dilawan. Kesadaran kritis perempuan adalah satu jalan masuk supaya objektifikasi terhadap tubuh perempuan dapat dieliminir. Kesadaran ini dapat berupa penghargaan terhadap tubuh dan perubahan cara pandang terhadap tubuh. Menyusui selain sebagai pemenuhan hak asasi anak, adalah penghargaan tertinggi yang bisa diberikan perempuan terhadap tubuhnya.

Mengenai perubahan cara pandang terhadap tubuh, ada pendapat menarik bahwa payudara itu sumber kehidupan dan sumber makanan bagi anak, tak ubahnya seperti sawah yang menjadi sumber kehidupan dan makanan bagi semua orang. Dalam hal ini, payudara dan sawah sebenarnya sebuah analogi. Pola pikir patriakis-lah yang membuat kita sangat sulit menerima analogi tersebut. Maka, menyusui adalah bagian dari proses pembebasan diri dan tubuh perempuan dari hegemoni kelompok dominan yang hanya akan berefek pada penumpukan modal. Jadi sekarang, apakah makna payudara bagi kita (perempuan)? ***

Read Full Post »