Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2009

Emancipated or Exploited?

Situasi perempuan masa kini yang sudah banyak mendapat kesempatan pendidikan dan mendapat kesempatan untuk terlibat di work force dan public institution sebenarnya tidak serta merta bisa di klaim sebagai ’hasil perjuangan kartini atau kelanjutan dari kongres perempuan di masa lalu itu’. Pengalaman menunjukkan bahwa perempuan menjadi ’emancipated’ lebih banyak karena tuntutan kapitalisme yang membuat lapangan kerja tersedia luas dan perlu diisi oleh siapa saja termasuk perempuan. (more…)

Read Full Post »

These past few weeks I have been struggling to overcome the so-called crisis in my personal life. I have been dealing with a major change in my life this past three months and it turns out that as much as change is necessary and promising, it is also challenging. It has been giving a hard time and driving me to my conscious of my personal existence in this world. (more…)

Read Full Post »

This is an article that I wrote quite a long time ago but I still like it. The movie is soo..good. So, enjoy the article…

My Blueberry Nights is pretty much my first introduction with Wong Kar Wai’s work. I’ve known his reputation for quite a while especially through his work 2046 and his role in Festival De Cannes in 2006 if I’m not mistaken. People say that 2046 is a unique work, kind of surrealistic, but a movie reviewer that I trust the most said that the movie is too confusing, so I decided not to watch it. Now, here I am, stunned with My Blueberry Nights that I just watched few hours ago.

We, me and my sister, choose to buy the DVD of My Blueberry Nights because it simply tells the story about women, and partly because it’s Jude Law and Natalie Portman. I’m in love with those two, especially Natalie Portman. Well, after watching the movie I can say that we have made the right decision. The movie was great, sweet, and soft, like eating a piece of blueberry pie with an ice cream and listening to jazz in the afternoon. Not too romantic, but sweet, nice, and cozy.

For me, the movie answer a simple yet very deep question, how far would you go just to cross the street? In life we always involve with series of event that break us down. These events mostly related to relationship. People can be good at what their doing professionally, academically, artistically, or whatever things that become their passion. However, when it comes to relationship, people can be real smart and real stupid at the same time. Moreover, we tend to keep the same pattern of a roller coaster ride of relationship that almost always ended up in a painful broken heart. Yes, we will repeat that same pattern over and over again until the patterns suddenly hits you hard enough to make you realize that love shouldn’t be such a hard work just like what Dorothy Boyd said to Jerry Maguire.
So, how far would you go to realize that it’s not that hard to cross the street? To embrace what can be closely define as love although the word love is not on the scene. Watch My Blueberry Nights and you’ll find out.

Read Full Post »

Beberapa bulan yang lalu saya pergi ke suatu desa di Kabupaten Grobogan untuk kebutuhan pekerjaan dan tidak mengharapkan apa-apa selain bekerja. Saya ternyata sangat beruntung karena mendapatkan jauh lebih banyak dari sekedar bekerja. Saya mendapatkan inspirasi, dan inspirasi itu mahal lho..

Desa itu namanya Desa Gunung Tumpeng. Seperti kebanyakan desa di Jawa, desa itu asri, adem, dan hangat sekaligus. Kita sungguh bisa merasakan kehangatan masyarakatnya. Salah satu teman—well, friend and boss—memperhatikan satu hal yang jelas tidak mungkin kita temui di Solo. Sepeda motor bagus ’teronggok’ begitu saja di tepi jalan tak terkunci. Pemiliknya mungkin tidak jauh dari situ, tapi yang jelas atmosfer kekhawatiran bahwa motor tersebut akan dicuri orang. Di Solo dan tentu di banyak daerah lain, pemandangan ini tidak akan kita jumpai. Jika kita punya motor dan membawanya ke tempat umum, maka kita pasti menguncinya dan sebentar-sebentar mengawasinya.

Okey, wait a minute people..bagi anda yang sudah memiliki ide nakal di pikiran anda..tunggu sebentar. Desa ini tentu bukan Motorcycle heaven dimana sebentar motor tergeletak dimana-mana tanpa ada pemilik dan ’menanti pemilik baru’. Desa ini hanya desa kecil dimana penduduknya sadar untuk tidak mengambil hak orang lain. Selain motor yang terdampar di jalan, rumah-rumah juga terbuka lebar tanpa ada yang repot-repot berpikir untuk menguncinya atau membangun gerbang di depannya. Mengapa demikian? Menurut saya salah satu penjelasannya adalah masyarakat desa tersebut adalah masyarakat yang berkeadilan. (more…)

Read Full Post »

BAHAGIA SEKARANG JUGA !

Saya percaya kalau setiap manusia terlahir ke dunia ini untuk alasan tertentu atau paling tidak mereka lahir untuk mengerjakan suatu hal tertentu. Tidak banyak orang yang dapat merasakan nikmatnya melakukan sesuatu yang ‘she was born to do’ dan saya tidak mau menjadi orang itu. Saya selalu mencari what I was born to do dengan mencoba berbagai pekerjaan yang mungkin saya dapatkan dan yang sekiranya menarik untuk saya. Saya percaya bahwa ketika saya sudah menemukannya saya akan memiliki energi tak terbatas tanpa banyak memikirkan kompensasi finansial dan dengan begitu saya akan bahagia

Selepas kuliah saya bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan anak. Awalnya saya merasa sangat bergairah. Betapa tidak, bekerja untuk anak-anak terasa sangat mulia dan saya yakin saya tidak hanya bekerja tetapi melakukan sebuah pengabdian. Gairah ini ternyata tidak bertahan lama. Setelah kurang lebih satu setengah tahun bekerja saya mulai merasakan kejenuhan tidak tertahankan. Saya merasa sesungguhnya saya tidak banyak melakukan pengabdian karena saya juga menggantungkan nafkah hidup dari pekerjaan ini. Saya berpikir jika saya dapat mencari sumber penghasilan lain maka saya dapat melanjutkan kegiatan-kegiatan sosial saya dengan sepenuh hati karena persoalan finansial sudah terselesaikan.

Saya kemudian mencoba berbagai pekerjaan mulai dari menjadi penerjemah, interpreter, menulis cerita anak-anak, sampai menjadi “motivational speaker” di berbagai organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat. Sebagian dari kegiatan ini membawa manfaat finansial dan sebagian membawa kepuasan batin, namun tidak ada satupun diantaranya yang dapat membuat saya berkata ‘This is it! This is what I was born to do’ sampai saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi dosen Bahasa Inggris di almamater saya.   

Profesi dosen bagi sebagian orang memang bukan pekerjaan impian karena tidak banyak mendatangkan manfaat finansial tapi saya sangat menikmatinya. Saya dapat bertemu dengan banyak anak muda yang masih memiliki semangat dan energi tak terbatas. Setiap hari saya merasa terinspirasi dengan kisah-kisah dan cita-cita mereka. Energi mereka mempengaruhi saya untuk menjadi makin positif tiap harinya. Di tengah kebahagiaan dan gairah yang menyala, terselip keraguan akankah saya bertahan? Saya khawatir kejenuhan akan membuat saya berpikir untuk berganti pekerjaan lagi dan membuang banyak waktu saya untuk mempelajari berbagai hal baru yang akhirnya tidak saya tekuni.

Keraguan saya terjawab baru-baru ini pada sebuah obrolan ringan di tempat parkir di kampus dengan salah satu mahasiswa saya (his nick name is chappy–thanks chappy). Mahasiswa saya menggambar sebuah titik di kertas dan bertanya pada saya, “Miss, apa yang anda lihat?” Saya menjawab, “Saya melihat sebuah titik.” Mahasiswa saya melanjutkan, “Sebenarnya yang anda lihat bukan hanya sebuah titik, Miss. Anda juga melihat kertas, melihat logo merek kertas, melihat pensil, melihat tangan saya juga. Hidup tidak perlu hanya menjadi sebuah titik yang menjadi tujuan dan sasaran kita, Miss. Banyak hal lain yang bisa kita lihat secara bersamaan.”

Pembicaraan itu benar-benar menyadarkan saya, bahwa sementara saya mencari sebenarnya saya telah melakukan banyak hal yang tidak perlu saya hentikan hanya karena saya merasa belum menemukan what I was born to do. Bisa jadi saya terlahir untuk melakukan banyak hal dengan potensi yang saya miliki bukan hanya satu hal yang spesifik. Sebenarnya saya tidak perlu lagi mengkhawatirkan untuk apa saya terlahir tetapi bagaimana saya memanfaatkan anugerah terlahir di dunia ini. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan saja. Melakukan apa saja yang mampu saya lakukan dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengangankan kebahagiaan, inspirasi, dan kesempatan mengabdi yang akan dimiliki jika saya mendapat pekerjaan tertentu karena saya bisa bahagia sekarang juga, bisa mendapat banyak inspirasi sekarang juga, dan bisa mengabdi serta berbuat untuk orang lain sekarang juga. ***

Sakdiyah Ma’ruf
Solo, 6 Januari 2009

Read Full Post »

Tulisan ini adalah tulisan tentang pengalamanku membaca karya Seno Gumira Ajidarma yang baru saja kukenal dan pengalamanku dengan parfum yang sudah kukenal sejak aku masih SD.

Saat ini, aku sendiri baru kenalan sama karya-karyanya seno gumira,
baru baca romannya yang berjudul; Jazz, Parfum, dan Insiden
Wah keren banget, I can really relate to the story..
I love Jazz, and I know some of the musician written in the book.

Ceritanya pada suatu hari aku pergi beli parfum sama seorang teman
yang ternyata number one fans nya Seno.
Sambil milih-milih parfum, aku cerita sama dia klo bagiku milih parfum
itu sangat penting..hampir sama kaya cari jodoh. Ketika menghirup
aroma parfum, indra pencium kita biasanya bereaksi dan bilang klo ini
harum atau tidak, enak atau tidak..
Tapi bagiku, parfum yang hanya menggoda hidung bukan pilihan. Parfum
yang pas adalah parfum yang berhasil menginjeksi otak dan kena di
hati..
Kalau aku, bukan aroma yang kucari tapi ingatan akan aroma tersebut,
Ada parfum yang membuatku ingat masa kecil, ingat orang-orang yang
kucintai, ingat orang-orang yang tidak kusukai, ingat peristiwa
tertentu, ingat masa-masa aku merasa senang, ingat masa jatuh cinta,
ingat saat merasa bergairah, ingat saat sedih dan banyak yang lain.

Parfum yang kucari juga parfum yang dapat membangkitkan perasaan
tertentu, perasaan sedih, senang, bahagia, sendu, ceria, semangat,
dan lain-lain..

Masing-masing orang punya parfumnya sendiri, yang sungguh pas dan
tidak hanya membuat ia wangi tapi setiap ruap aromanya menggambarkan
diri orang tersebut.. aku juga cukup pintar lho memilih parfum yang
menggambarkan diri seseorang..tapi tentu saja aku harus sangat kenal dengan orang tersebut. Parfum untuk bapakku misalnya. Parfum tersebut harus beraroma kuat tapi sangat harum. Artinya bukan one of those parfum pria yang sangat keras sekaligus segar tetapi parfum pria yang berkarakter. Aromanya tajam, kuat, dan memiliki sense rempah yang kentara. Itulah bapakku. Orang yang berkarakter, kuat keinginannya, tetapi kadang tinggi hati juga. So, ada yang mau dipilihin parfum? hehehe..

Nama, wajah, atau peristiwa kita bisa lupa, tapi aroma tinggal dan
membekas..paling tidak bagiku..

Nah, semua ini dalam versi yang lebih singkat kuceritakan sama
temanku yang penggemar Seno itu..trus jadi deh dia meminjamiku Jazz,
Parfum, dan Insiden..’

Dari buku itu aku dapat beberapa referensi parfum. Beberapa
diantaranya aku cukup familiar..
Misalnya Escape Calvin Klein. Kata Seno dibukunya, Escape dibuat
Calvin menyusul parfum sebelumnya Eternity. Seperti judulnya Escape
mewakili hal-hal yang beyond Eternity. Mewakili semangat “pergi
dari..”

Well, bagiku parfum Escape baunya sangat sejuk, bukan sejuknya mint
atau pegunungan tapi sejuknya tanah, kertas, dan daun-daunan yang kena
embun di pagi hari..klo dihirup dalam-dalam dan agak lama,
woww..intoxicated. Awalnya ga terlalu harum sih, tapi lama-kelamaan
membawa perasaan yang hangat karena kesejukan dari suatu tempat yang
jauh yang sangat kita rindukan..

Pengalaman yang seperti ini yang membuatku merasa dekat dengan buku
itu..

O ya, ada satu parfum yang belum pernah kukenal yang disebutkan di
buku itu. Namanya Poison, karya Calvin Klein juga..gila aku penasaran
banget..

So bagi anda yang punya karya Seno, karya Calvin Klein, atau
pernah nemu parfum Poison, atau punya pengalaman dengan parfum, atau
mo minta dipilihin parfum just contact me..he..he..
miss you and the scent of you…

Sakdiyah, 10 Juli 2008. Menulis sambil membayangkan Ralph Lauren Blue….

Read Full Post »

“Putting Passion into Action” adalah salah satu kutipan kata-katanya Jesse (Ethan Hawke) di film Before Sunrise. Suatu saat aku pernah cerita pada temanku, tentang kliping dan karya tulisku waktu SMA. Karya tulis waktu SMA ku dulu sebenarnya ada 2. Kelas 2 SMA aku menulis kritik tentang hari Kartini yang sekarang ini aku juga agak tidak ingat. Kelas tiga SMA aku menulis tentang penyakit flu. He..he.. klo diingat menarik juga prosesnya, ada kegiatan mencari buku referensi, dari jurnal IDI sampai ensiklopedia. Terus kegiatan wawancara sama dokter Ervina.

Jika diingat sekarang rasanya sungguh menyenangkan..sampai lupa betapa aktivitas sederhana namun menghasilkan bisa menjadi sangat menyenangkan. Sekarang jika ingat itu lagi rasanya jadi semangat. Semangat melakukan banyak hal sederhana yang menjadi hasrat. Tidak perlu terlalu wah, yang penting dekat dengan kehidupan sehari-hari dan dekat dengan apa yang menjadi passion, keinginan, cita-cita hidupku.

Selain karya tulis, proyek kelas 3 SMUku adalah kliping. Senada dengan karya tulis, kliping yang kubuat adalah tentang otak. Struktur otak manusia, keistimewaannya, penyakit-penyakit seputar otak manusia, dan lain-lain. Dari kliping ini, aku pertama kali berkenalan dengan penyakit degeneratif yang namanya Alzheimer. Ini adalah penyakit baru yang lebih ganas dari pikun. Saat ini banyak orang membicarakan Alzheimer dan aku sudah tahu sejak 10 tahun yang lalu. Keren kan? Kliping ini juga membuatku belajar banyak tentang cara-cara mengatasi kepikunan. Hebat kan? Tugas sekolah yang sederhana bisa membuatku mempelajari banyak hal. Hal yang kecil dan sederhana jika dihargai dan dimaknai nyatanya bisa juga menjadi suatu yang penting. Super sekali (kalau kata Mario Teguh..hehe)

Sama dengan karya tulis tentang flu, saat ini aku juga sudah tidak ingat isi artikel-artikelnya. Tapi aku masih ingat semangatku saat itu, energi yang murni. Energi untuk belajar. Menyusun kliping satu demi satu, membacanya, mencari referensi, dan menulis komentar tiap artikel.
Senang rasanya bisa mejadi sungguh-sungguh !
Iya, aku sendiri memang banyak mendapat inspirasi dan ide-ide menarik. Tetapi nyatanya ga pernah kukerjakan. Ide bagus, klo tidak dipedulikan, akhirnya memang menjadi kutukan (Paulo Cuelho, The Alchemist)

Memiliki ide dan gagasan sebenarnya seperti memiliki hutang. Hutang pada diri sendiri dan hutang pada orang banyak, karena siapa tahu ide tersebut bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Jadi, saya akan mulai bayar hutang..

Read Full Post »

Public Lecture by :

Dr. Margot Badran (Georgetown University-Washington DC)

Theme: Gender and Islam
Location: Ponpes Al Muayyad-Windan and English Department Faculty of Letters, Surakarta
Day, Date: Monday, June 16, 2008

Before I start, I have to admit that I know nothing about Dr. Badran and her thoughts until I hear her lecture. Therefore, my note on her thoughts will be very limited and it will be dominated with my own interpretation on Gender and Islam and my interpretation on her answer towards my question. Here is the note… (more…)

Read Full Post »

Apakah saat ini kita termasuk orang yang keren? Atau sebelum menjawab pertanyaan itu, sebenarnya seberapa penting sih menjadi keren bagi kita? Bagaimana kita bisa menjadi keren atau tidak keren? Apa saja ukurannya? Siapa yang menentukan?

Berdasarkan pengalaman pribadi saja, sepertinya menjadi keren mungkin memang penting bagi saya. Pengalaman yang akan saya ceritakan ini tidak terjadi satu-dua kali saja tetapi berulang kali dan bahkan pada saat-saat interaksi saya dengan diri sendiri.

Saya sangat suka film. Sejak SD atau bahkan sebelum itu, sudah terbiasa menonton film. Sampai saat ini, saya masih sangat suka menonton film, bahkan bisa dibilang tiada hari tanpa menonton film. Film-film yang saya tonton berubah dari waktu ke waktu. Bisa dibilang, makin dewasa film-film yang saya tonton makin ‘serius’ dari segi tema, penceritaan, sinematografi, dan lain-lain. Saya menjadi tidak suka lagi film-film yang saya anggap ‘ringan.’ Pada banyak kesempatan, ketika teman atau saudara saya mempromosikan satu film yang menurut dia bagus, saya menanggapinya dengan datar saja. Saya ini kan penyuka film-film kelas festival film dunia, ‘masa film remaja gitu dibilang bagus!’ Kadang saya berkata demikian dalam hati.

Hal yang sama terjadi pada interaksi saya dengan diri saya sendiri ketika saya mengunjungi tempat-tempat persewaan film. Kadang saya sangat ini menyewa film yang ‘ringan’ saja supaya terhibur, tapi akhirnya I ended up menyewa film-film ‘serius’ tadi. “Who am I kidding?” begitu kata saya pada diri saya sendiri, kadang dengan nada bangga, kadang dengan nada kecewa.
Akhirnya konsumsi memang masalah selera. Dan soal selera ini, saya punya pengalaman menarik yang lain. Saya meyakini bahwa selera itu dibentuk dan memang benar bahwa selera itu dibentuk. Masalahnya dibentuk oleh siapa? Masih berkaitan dengan film, saya meyakini bahwa selera saya akan film dibentuk dari kebiasaan saya menonton film sejak kecil, ketertarikan pada buku-buku, dan kesukaan berdiskusi. Dengan latar belakang seperti itulah saya saat ini menyukai film-film ‘serius’ yaitu film-film kelas festival dunia.

Keyakinan seperti ini yang membuat saya kadang memandang orang lain yang suka menonton film-film ‘ringan’ sebagai “tidak punya selera” dan oleh karenanya berada pada komunitas yang berbeda dengan saya dalam konotasi yang mengandung sikap menganggap baik atau menganggap buruk orang lain?

Maka tiba-tiba ‘punya selera’ menjadi terminology untuk menyebut komunitas yang ‘elite.’ Dan dengan menjadi bagian dari komunitas yang ‘elite’ saya menjadi “keren.” Lalu siapa yang menentukan itu elite atau tidak elite? Keren atau tidak keren? Siapa yang memberi ukuran? Berhakkah saya kemudian ikut-ikutan menilai orang lain?

Masih berkaitan dengan film, festival dan penghargaan film adalah salah satu penentu keren atau tidak kerennya, bagus atau tidak bagusnya sebuah film. Sebagai suatu hal yang diterima secara internasional, kita setuju saja bahwa film pemenang Oscar atau pemenang Festival De Cannes adalah film yang baik. Terlepas dari bahwa diantara sekian penghargaan film tersebut mereka punya ukuran ke-‘keren’-an sendiri-sendiri, paling tidak penghargaan-penghargaan film tersebut telah berhasil menciptakan standarisasi tertentu yang dapat diterima. Lagi pertanyaannya, siapa yang membuat mereka, para juri dan penyelenggara festival, punya otoritas untuk menjadi standarisasi? Tidakkah standarisasi itu bisa didebat? Lalu jika standarisasinya saja masih diperdebatkan, bagaimana dengan penikmat film yang most of the time hanya mengkonsumsi dan menggantungkan status ke-‘keren’-an diri pada standarisasi keren dan tidak keren yang ‘dapat diterima’ itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Indonesia memiliki contoh yang menarik. Festival Film Indonesia (FFI) yang diakui menjadi standarisasi bagus tidaknya sebuah film. Sebagai sebuah standar, tentu saja penonton film pemenang FFI berada pada kelompok yang ‘somehow’ lebih keren, daripada mereka yang menonton film-film yang diputar pada acara Bioskop Dewasa di salah satu stasiun TV itu. Namun, FFI 2006 membuktikan bahawa standarisasi bisa saja salah. Aksi penolakan sejumlah sineas terhadap hasil FFI 2006 mengawali babak baru perdebatan di kalangan masyarakat pembuat film dan masyarakat penikmat film di Indonesia.
Di tengah perdebatan ini, saya memihak siapa? Sebagai sekadar konsumen, saya memilih untuk memihak Riri Reza dan kawan-kawan yang menolak hasil FFI. Mengapa? Simply because saya lebih suka karya-karya mereka daripada karya yang menang FFI. “I mean, Ekskul jadi juara? Yang bener aja! mereka itu kan penjiplak, ceritanya tidak mengakar, mengada-ada, tidak memiliki kedalaman nilai-nilai humanity sama sekali” begitu saya berargumentasi. Lho, again pertanyaan yang sama muncul, siapa sih yang berhak menentukan sesuatu itu punya nilai atau tidak punya nilai? Pada kondisi dimana sebuah standar sudah tidak lagi punya kekuatan atau sudah ‘tidak dapat diterima’ kita menjadi otonom. Otonom untuk menerima atau menolak, otonom untuk memilih. Memilih diantara sebaran luas makna-makna dan simbol-simbol yang siap dikonsumsi.
Pada pengalaman saya ternyata ketika saya pada posisi otonom, nyatanya saya tidak sepenuhnya otonom. Pilihan saya tetap dipengaruhi oleh standar-standar diatas standar festival, misalnya standar kedalaman nilai kemanusiaan yang terekam dalam tema-tema film dan lain sebagainya. Standar kedalaman nilai kemanusiaan itu kemudian ditentukan oleh wacana intelektual yang sedang dominan dan bisa diterima. Sebenarnya masih banyak yang bisa lebih jauh diperdebatkan, misalnya di luar dominasi wacana yang membentuk standar-standar ke-‘keren’-an, adakah standar kebagusan yang bisa diterima universal? Atau sebenarnya karya yang seperti apa yang benar-benar bisa dibilang baik? Namun perdebatan ini belum akan kita kupas saat ini.

Akhirnya kita melihat bahwa memilih film, keberpihakan terhadap sikap kelompok film tertentu adalah bagian dari tindakan konsumsi kita. Dan pada konsumsi kita membentuk identitas dan menceburkan diri pada tatanan masyarakat tertentu. Dengan mengkonsumsi kita menentukan tempat kita di dunia. Pada kasus film yang kita bahas ini, maka menonton film tertentu memberi kita tempat pada suatu masyarakat dan sekaligus memberi kita ruang untuk membentuk masyarakat tersebut. Masyarakat yang ‘keren’ dengan segala kriterianya menurut kita sendiri. Masyarakat ‘utopis’ yang kita bentuk melalui konsumsi film kita. Mengapa menceburkan diri dalam suatu masyarakat atau membentuk masyarakat itu?

Jawabannya adalah karena sebenarnya kita hanya ingin punya tempat. Maka menjawab pertanyaan di atas tentang seberapa penting untuk menjadi keren? Jawabannya adalah tidak penting. Yang penting adalah punya tempat. Perkara tempat itu memberi implikasi citra keren atau tidak keren nyatanya tidak terlalu penting karena itu hanyalah persoalan siapa yang berkuasa dan mendominasi wacana dan trend saat ini saja, sedangkan kebanyakan kita toh hanya mengkonsumsi, hanya bermain-main dengan, atau bahkan dimainkan oleh kelompok yang sedang dominan. *** Sakdiyah Ma’ruf (Jum’at, 28 Februari 2008)

Perdebatan selanjutnya:
Ketika mengkonsumsi kita otonom atau malah terjajah?
Sejauh mana proses negosiasi terjadi antara keinginan, hasrat, dan serbuan pilihan-pilihan item konsumsi baru?
Lalu bagaimana mengkontekstualisasikan ide-ide ini ke kondisi sosial yang lebih luas?

Read Full Post »

Sampai saat ini dunia sedang membicarakan krisis ekonomi atau tepatnya krisis keuangan global yang sepertinya dimulai dari Amerika. Makin hari beritanya makin gencar. Minggu malam tanggal 12 Oktober kemarin, saya mendengarkan berita di radio BBC dan hampir seluruh berita berisi krisis keuangan global. Tentu saja dengan selingan berita terorisme dan nuklir yang bahkan sudah menjadi tren sejak beberapa tahun lalu mendahului krisis ekonomi. Saya sekilas berpikir, apa ada hubungan antara nuklir, terorisme, dan krisis keuangan? Namun, saya lekas mengesampingkan pikiran itu karena krisis ekonominya sendiri saja saya belum paham benar. Berita-berita di berbagai media membuat saya makin bingung. Berita-berita tersebut banyak menyebut tentang indeks, saham, likuiditas, suspensi, turun, naik, anjlok, dan entah apa lagi istilah keuangan yang tidak lazim di telinga orang awam seperti saya. Apalagi latar belakang pendidikan saya sastra. Duh, makin ga ngerti deh.

Ketidaktahuan tidak membuat saya berhenti. Beberapa hari belakangan saya mencoba menyimak beberapa berita. Bertanya pada beberapa orang yang mungkin tahu. Mencari-cari berita dan memikirkannya dengan agak serius. Kenapa begitu? Karena saya sendiri punya kekhawatiran seandainya krisis ini semakin menjadi lalu mempengaruhi Indonesia, dan akhirnya mempengaruhi keluarga dan saya sendiri, apa jadinya kalau saya tidak tahu apa-apa dan menjadi korban saja? Sebelum semuanya itu terjadi saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Berikut pemahaman dan interpretasi saya atas berita-berita yang saya ikuti. (more…)

Read Full Post »

Older Posts »